Cerpen "Tentang Lampau" Karya Yunita

 Nama : Yunita Ardyanti

Kelas : XI MIPA (34)

  • Cerpen


Tentang lampau

Masa abu putih yang digadang-gadang oleh kebanyakan orang sebagai masa paling indah dalam hidup, yang katanya dapat membuat seseorang merasakan apa itu jatuh cinta, persahabatan, dan pengkhianatan. Menurutku semua itu fakta, karena baru saja aku dikhianati oleh seseorang yang satu jam lalu kuanggap sahabatku sendiri. Bisa-bisanya dia berlagak mendukungku namun menusukku dari belakang, ia yang mengenalkanku kepada kekasihku namun ternyata kekasihku hanya memanfaatkanku untuk menang dari taruhan, bagaimana bisa kejadian konyol ini terjadi. Aku merasa kecewa karena dibodohi seperti ini. Tanpa sadar aku pun melangkahkan kaki dengan langkah besar dilorong sekolah dan berhenti didepan sebuah ruangan kosong, aku sudah memikirkan bahwa akan ada seorang perempuan berambut panjang dengan mata seram yang akan aku temui, tapi apa ini?! yang aku temui kenapa malah lelaki tampan dengan mata terpejam yang sedang tidur menikmati kesunyian. Aku pun memberanikan diri masuk kedalam ruangan dan membaca nama yang ada di seragam siswa tersebut, “Ezakiel Atalaric” nama yang unik batinku. Aku yang tidak enak hati membangunkannya pun segera berlari meninggalkan ruangan tersebut. Tanpa ia sadari lelaki tersebut tidak tertidur ia menyadari bahwa Rea memasuki ruangan tersebut, “Akhirnya ketemu” gumam lelaki tersebut.

Hari yang indah namun tidak dengan suasana hati ku, karena aku terlambat kesekolah hari ini. Semua ini disebabkan oleh sepeda motor yang biasa aku gunakan kehabisan bahan bakar. Hari yang sial batinku. Aku segera menuju ke UKS untuk mengerjakan tugasku sebagai PMR, ya walaupun tidak jauh dari membuat teh setidaknya aku tidak perlu berdiri panas-panasan dilapangan untuk mendengar amanat dari kepala sekolah yang tidak jelas alurnya. Lihat saja sekarang beliau membicarakan tentang kesetaraan gender namun pengeras suara yang digunakan tidak berfungsi dengan baik, beberapa kali terdengar suara dengingan dari pengeras suara yang sepertinya sudah usang termakan usia. Seperti biasa yang ke UKS adalah golongan pentolan sekolah yang pura-pura sakit hanya sekadar untuk menikmati teh atau mengganggu petugas yang sedang bekerja. Tetapi ada yang asing dari gerombolan tersebut, seperti ada sepasang mata yang melihatku dengan lekat tetapi aku tak tau siapa dia karena aku tidak berani menoleh kebelakang. Bulu kudukku merinding.

Upacara berjalan dengan baik, aku pun segera pergi ke kelas karena pelajaran pertama sudah mau dimulai, tetapi ketika aku melewati kantin insting manusia ku terbangun, ya aku butuh makan. Aku memesan roti dan susu lalu sesegera kuhabiskan makananku. Ketika hendak kembali tanganku dicekal oleh seorang pemuda yang tidak aku ketahui namanya aku duga ia adalah murid baru disini, aku sedikit mengenali wajahnya tapi aku lupa melihatnya dimana.

“Tunggu! Apa-apaan sih, bisa lembut dikit nggak? Tangan ku sakit!” Ucapku, namun ia masih tetap bergeming dan aku pun menarik paksa tanganku walau sedikit terhuyung.

“Kamu siapa? Tau sopan santun? Narik orang sembarangan, udah ah gajelas” aku yang hendak pergi ditahan oleh lelaki tersebut, ia mengatakan,

“Kamu Athi kan?” aku yang terlanjur kesal pun menjawab dengan ketus, “Bukan”. Tiba-tiba lelaki tersebut pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata. Ketika ia sudah hilang dari pandanganku aku baru menyadari ia tadi mengatakan ‘Athi’, “Sebentar, loh tadi dia memanggilku Athi, tau dari mana dia dulu namaku Athi padahal nama tersebut sudah lama kubuang, dia mencurigakan” ucapku.

Pelajaran berlangsung seperti biasa tetapi kepalaku masih memikirkan siapa dia yang berani memanggilki Athi. Aku yang melamun dipanggil beberapa kali hingga, “Rea! Kalau tidak fokus dengan pelajaran keluar saja!” aku terperanjat kaget karena teriakan guru tersebut, lalu aku pun segera meminta maaf dan berusaha tidak memikirkan tentang kejadian yang tadi. 

Sesampainya dirumah aku langsung merebahkan diriku dikasur yang empuk, tubuhku terasa rontok dan tenaga ku terkuras habis. Aku sedang membaca pesan yang masuk digawai ku salah satunya dari para temanku yang ribut membahas apakah Dimas ayah atau paman dari seniorku Ananta. Aku yang ingin mencari hiburan pun bergabung dengan temanku membahas masalah yang tergolong tidak penting itu, namun Ira salah satu temanku bersikeras untuk membahasnya karena Kak Ananta adalah incaran Ira sejak kelas 10. Aku yang terlalu asyik pun larut dan tersadar saat nomor tak dikenal menghubungiku, “Rea” bacaku, aku pun langsung membalas,

“Siapa?”

“Yang tadi”

“Hah?”

“Maaf tadi aku kasar”

“Oh ternyata kamu, apa yang kamu inginkan sampai menyeretku seperti itu? Namamu?”

“Ezakiel”

Ezakiel ya nama yang unik, sepertinya aku pernah melihat nama itu. Oh! Dia adalah orang yang tempo hari tidur di kelas kosong itu, wajahnya sangat familiar apakah sebelum itu aku pernah bertemu dengannya atau hanya firasatku saja?

Kamarku dibuka dengan sangat kasar oleh ibu ku, dibilang ibu pun tak pantas karena ia hanyalah wanita yang menikahi ayahku setelah ibuku meninggal kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Ia setiap hari hanya bisa berteriak dan mencelaku, begitu pun ayahku yang seperti sudah kehilangan semangat hidupnya. Ia mungkin tahu aku diperlakukan seperti itu oleh wanita ini tetapi dia hanya diam saja. Satu-satunya orang yang membelaku dirumah ini hanyalah kakakku, yaitu Vier. Hanya saja ia tidak pernah terlihat lagi dirumah karena sepertinya ia pun tidak betah dirumah ini, beberapa hari yang lalu ia memutuskan  pergi ke luar negeri untuk meneruskan studinya. Sialnya kenapa dia tidak membawaku saja, dan membiarkanku terjebak disangkar emas ini. Katanya, “Tamatkan dulu sekolah kamu dek, nanti kakak bawa kamu kalau sudah lulus SMA, lagian kan kamu sudah kelas 11, sayang kalau harus pindah, bukankah kamu sudah nyaman dengan temanmu disini?” sialnya lagi perkataannya benar jadi aku tidak bisa menyangkalnya, selain itu aku pun masih berharap ayah bisa kembali seperti dulu dan menyayangi aku dan Kak Vier seperti sedia kala.

“Kamu gadenger saya ngomong? Cepetan itu beresin dibawah, rumah lusuh seperti ini gara-gara siapa? Gara-gara kamu! Bisanya Cuma numpang aja”, aku yang bosan mendengarnya pun segera turun kebawah untuk menyapu dan membersihkan apa yang ada, aku pernah menentang wanita itu, dan hasilnya ayah marah padaku karena wanita itu mengadu kepada ayah hal yang tidak benar.

Hari ini aku tidak datang terlambat lagi karena sepeda motor yang biasa aku kendarai tidak rewel lagi. Tiba-tiba terdengar deruman sepeda motor besar yang datang dari arah belakangku. Aku menoleh dan melihat ada sekitar 5 sepeda motor yang parkir salah satunya orang yang mengirim pesan kepadaku kemarin yaitu Ezakiel. Ia berjalan ke arahku dengan santai nya dan tiba-tiba saja kenapa dia merangkulku? Disamping kanan kiri serta belakangku terdapat teman-temannya yang seperti sedang menjaga kami. Setiap pasang mata menatapku, ada tatapan iri dan mencemooh serta kagum karena tidak dapat dipungkiri mereka semua tampan. Dari arah depan terlihat sahabatku yang mengkodeku untuk lari ke arah mereka, aku pun yang sudah tidak nyaman segera melepas rangkulan yang ada dipundakku dan berlari ke arah teman-temanku, aku melihat sekilas bahwa Ezakiel terkejut lalu tersenyum tipis kearahku. 

Kantin heboh oleh kejadian tadi pagi, yang semula hidupku tentram dan jauh dari kata tenar berubah setelah pagi tadi. Semua membicarakanku dan semua itu karena segerombolan orang baru yang duduk dipojok kantin itu. 

“Bu, bakso gapake tahu satu ya”

“Oke neng!”

Sembari menanti bakso ku selesai diracik, aku juga memesan es teh dan membawanya ke meja yang sudah diduduki oleh para sahabatku. Belum sampai kakiku melangkah ke meja ada sepasang kaki yang melintang didepanku, karena aku terkejut dan tidak ada persiapan akupun terjerembab jatuh ke lantai dengan gelas es teh yang sudah pecah dihadapanku dan mengenai tanganku.

“Ups sorry gasengaja” ucapnya. Oh dia, ratu bully disekolah, Sisca. Ia suka menganggu siapapun yang menurutnya menjadi penghalang baginya, tetapi aku tidak mempunyai masalah apapun dengannya, aku yang kesal pun sontak menyiram nya dengan es jeruk yang ada di mejanya hingga ia basah kuyup,

“Kyaaaa! Kurang ajar! Siapa kamu bisa menyiramku seenaknya? Yang jatuh kan kamu kenapa kamu menyiramku dasar orang gila!” bentaknya. Aku yang tak tahan pun ingin bersuara namun suaraku digantikan oleh suara laki-laki,

“Anda yang gila, saya melihat sendiri anda yang sengaja menyandung kaki Rea”

Aku melihat wajah Sisca merah padam menahan malu dan lengket ditubuhnya. Belum selesai aku mengamati Sisca tanganku sudah ditarik dengan lelaki yang membelaku tadi yaitu Ezakiel. Sahabatku yang telat menyadari kejadian tadi pun hanya pasrah melihatku diseret oleh Ezakiel, terlihat mereka adu mulut dengan Sisca dan berakhir mereka membersihkan gelas yang tadi pecah.

Ternyata dia membawaku ke UKS, ia menyuruhku duduk di brankar dan dengan telaten mengobati luka ku yang terkena pecahan beling tadi. 

“Kenapa kamu membawaku kesini?”
“Aku hanya khawatir padamu, aku juga ingin mengatakan sesuatu tentang keluargamu”
“Maksudnya bagaimana? Sedari kemarin kamu berkata hal yang tidak masuk akal”
“Akan aku jelaskan, 7 hari lagi temuilah aku diatap sekolah”

Ia pun pergi meninggalkanku sendiri dengan berjuta pertanyaan yang berkecamuk dikepalaku.

Tujuh hari kemudian, aku menurutinya untuk menemui dia di atap sekolah. Dia sudah duduk disalah satu kursi usang diatas sekolah, aku pun memanggilnya,

“Ezakiel”

Ia menoleh dan terlihat terpaan angin mengibaskan beberapa helai rambutnya yang lebat, kuakui dia sangat tampan.

“Kau sudah datang rupanya, Athi”
“Bagaimana bisa kamu mengetahui nama itu? Itu adalah nama yang hanya diucapkan oleh mendiang ibuku”
“Bagaimana jika kubilang aku mengetahui penyebab meninggalnya ibumu?”
“Apa maksudmu! Ibuku meninggal karena kecelakaan, kamu hanyalah orang asing, tau apa kamu soal hidup keluargaku!” Ucapku dengan nafas yang memburu dan muka yang merah padam menahan amarah.

“Athi maaf, izinkan aku menjelaskan ini kepadamu” Aku yang terlanjur penasaran pun mempersilahkan dia untuk menjelaskan walau aku tidak mau percaya setiap ucapannya.

“Malam itu ibumu mengendarai mobil, ia seperti berbicara dengan wanita lain. Sepertinya mereka bertengkar hebat, lalu ibumu masuk kedalam mobil begitupun wanita itu, tanpa aku sangka wanita itu seperti memang sudah berencana melukai ibumu, setelah wanita itu masuk mobil ia memberi kode pada beberapa mobil yang terparkir dipinggir jalan, dan mobil-mobil itu bergerak dan dengan kecepatan penuh menabrak mobil ibumu yang menyebabkan ibumu meninggal ditempat.”

Tanganku bergetar hebat, aku berusaha tidak memercayai kata-kata lelaki didepanku ini,

“Bagaimana kamu bisa mengetahui ini semua?”
“Saat itu aku ada masalah dengan keluargaku dan keluar untuk menenangkan diriku, tak kusangka aku malah melihat kejadian seperti itu. Aku segera berlari kearah ibumu dan kata-kata yang dia ucapkan adalah Athi, namamu. Ia menitipkan dirimu padaku, sejak itu aku mencari mu dan pelaku yang merencanakan ini sangat rapi sehingga aku duga ini adalah ulah dari orang terdekatmu.”
“B-bagaimana bisa ibuku? Tolong kamu pasti tahu pelakunya kan? Iya kan? Tolong bantu aku tangka d-“ Aku terlalu terkejut dengan kenyataan yang baru saja aku dengar, pandanganku menggelap, tubuhku limbung, hanya terdengar suara ezakiel yang terus memanggilku. Aku pingsan.

Saat terbangun aku sudah berada di UKS ditemani oleh Ira, katanya Ezakiel yang menggendongku, aku sedikit tersipu. Belum selesai aku tersipu tiba-tiba kepalaku langsung dipenuhi perkataan Ezakiel, tanpa sadar air mataku mengalir dan aku menangis tersedu-sedu, Ira terlihat kebingungan, dan aku pun tidak berniat menjelaskannya. Sekarang aku ingat mengapa wajah Ezakiel terlihat tidak asing, itu karena ia adalah orang yang mengantar jasad ibu kerumah sakit dan menghubungi ku malam itu. Aku harus mencari tahu siapa pelakunya dan mengumpulkan bukti agar bisa menjebloskan ke penjara. Larut dalam kesedihan adalah suatu keistimewaan bagiku.

Saat aku di UKS sampai hari ini aku belum melihat wajah Ezakiel lagi, aku ingin bertanya lebih lanjut, namun entah kenapa hatiku selalu ingin melihatnya. Memang ia belum lama berada disini, namun tingkah lakunya yang membuatku seperti punya sandaran sangat membingungkan. Aku sudah tidak sedih lagi dengan kenyataan meninggalnya ibuku, aku sudah cukup menangis 3 hari yang lalu yang tersisa sekarang hanya perasaan marah.

Diujung lorong dari tempatku berdiri Ezakiel berlari sampai dihadapanku, ia mengecek seluruh tubuhku,
“Kamu tidak apa-apa? bagaimana keadaanmu?”
“Tenang saja Eza, aku sudah baik-baik saja, bolehkah aku bertanya perihal ibuku?”
“Bicara tentang Ibumu aku sudah tau pelakunya namun bukti yang kukumpulkan belum cukup.”

“Siapa!? Siapa pelaku nya Eza!”
“Pelakunya ibu tirimu sendiri, aku tidak tau motif apa yang membuatnya seperti itu dan sepertinya dia tidak sendiri”

Pantas saja wanita itu selalu diam ketika aku membahas ibu, ternyata dia yang merenggut nyawa ibuku, dengan langkah gegabah aku pergi keparkiran dan mengambil sepeda ku dengan kecepatan penuh aku menuju kerumah.

“Heh! Wanita tak tau diuntung!” Sesampainya dirumah aku berteriak, pas sekali ayah dan wanita itu ada dirumah ini, segera mungkin aku menghadap ayahku dengan emosi yang masih tersulut dan berkata,

“Dia ayah, Dia yang membunuh ibuku!”
“Rea jangan keterlaluan! Tuduhan macam apa itu, Lia tidak mungkin seperti itu!” 

Aku menjelaskan apa yang aku tahu kepada ayah, namun ia malah bertanya pada wanita itu tentang kebenarannya, jelas saja aku lebih marah karena ayah masih menganggap ibu meninggal karena kecelakaan. Aku yang terlanjur kecewa pun keluar rumah dan terlihat Eza yang menatapku dengan khawatir lalu ia berkata, “Mau jalan-jalan?” aku mengiyakan ajakannya.

Ditaman ia menenangkanku, ia sosok orang yang hangat. Tetapi karena bukti belum terkumpul aku ingin menyusul kakakku ke luar negeri, aku butuh udara baru untuk mencerna semuanya, Eza melarangku namun aku menenangkannya bahwa aku tidak akan lama, aku hanya ingin pergi satu minggu saja.

Hari keberangkatanku di bandara yang mengantarku hanya Eza, karena hanya dia yang tau aku pergi. Aku berpamitan dengannya dan ketika akan pergi ia bertanya, 

“Jika kamu kembali aku mau membantumu mengusut kasus ibumu, namun bukan sebagai rekan tetapi sebagai kekasihmu”
Aku tersenyum mendengar ucapannya, hatiku menghangat lantas aku menjawab,
“Iya, tunggu aku Eza”
Kulambaikan tanganku dan aku pergi mencari bukti yang tersisa bersama kakakku, hidupku tidak akan tenang sampai pelaku itu mendapat hukuman, entah hukuman penjara atau hukuman dari tanganku sendiri, jika aku boleh memilih lebih baik hukuman dariku.



Komentar