Luka Nabiru
Kaliya Talent T.H/XI MIPA 1/16
Brak... bunyi pintu kamarku yang kututup dengan membantingnya yang pasti
dengan sangat keras. “Aauuhh...kenapa gak bisa ngerti aku sedikit sih” teriakku sebal
yang diakhiri dengan menghempaskan tubuh ke ranjang tembat tidur empuk ku dan
segera menutup wajah ku dengan bantal. Tak terasa mataku sudah mengeluarkan air
bening di sudut-sudut kelopak mataku yang bertanda bahwa aku sudah tidak dapat
menahan kesedihan ku. Yah.. aku menangis, menangis karna malangnya hidupku,
menangis karena tidak ada yang mengerti aku dan menangis atas nasib ini.
Pagi menjelang, sinar-sinar lembut matahari memancarkan sinarnya dari celah-
celah jendela kamar sukses membangunkanku dari sebuah mimpi, aku selalu berharap
semalam hanya mimpi, benar! hanya mimpi. Aku bangun dengan lemah dari ranjangku
dan segera menyambar handuk untuk segera mandi. Berjalan di cermin ukuran besar
yang ada dalam kamar. Disana aku bisa melihat dengan jelas mata sembab yang
menggambarkan sejuta kesedihan dan kekecewaan. Melihat sosok dicermin itu aku hanya
bisa tersenyum pahit, ternyata ini bukan mimpi melainkan kenyataan yang harus aku
hadapi. Setelah melihat diriku yang tak berguna ini, segera aku melanjutkan langkah
gontaiku menuju kamar mandi yang terdapat dalam kamarku.
“Selesai...” gumam ku setelah merapikan dasi sebagai sentuhan terakhir dan siap
untuk berangkat kesekolah, berangkat ke SMA BINA BANGSA. Tanpa berkata apapun
ataupun menyapa kedua orangtuaku, aku langsung menyambar kunci motor di gantungan
ruang tengah rumah dan segera melajukan motorku dengan sangat-sangat cepat tanpa
sarapan dan pamit dulu pada dua orang yang selalu aku hormati, sayangi tapi kini mereka
membuat aku kecewa dan sangat kecewa.
Dalam perjalanan aku teringat pada kejadian malam tadi, malam tersuram dalam
hidupku. Ingin aku melarikan diri,melarikan diri dari dunia ini dan melarikan diri dari
semua kenyataan hidup ini tapi tetap saja aku tak bisa. Aku tidak memiliki tempat tujuan
lain yang pantas untuk menampung anak putus asa seperti ku. Tetes demi tetes air bening
ini mengalir dari mata sayupku hingga tak terasa aku sudah berada didepan gerbang
sekolah.
Segera aku masuk dan berjalan lemah menuju kelas. Setelah sampai aku segera
menyimpan tas dan merebahkan diri dibangku tempat duduk dan menelungkupkan
wajahku di atas meja. Heran!! Itulah yang mungkin teman sebelah ku rasakan melihat
tingkahku itu.
“Pear, Kamu kenapa? Kamu gak apa-apa kan!”
“ Tidak apa-apa” jawab ku singkat
“Serius ih”
“Iya” jawab ku dengan menampakan wajah tersenyum pada sahabatku yang
cerewet itu. Aku yakin jika tidak begitu ia akan selalu bertanya karena kawatir pada ku.
“Apa kamu habis menangis”
“Biasa..ayah, ibuku itu”
“Yaa… Seperti dugaanku.” ujar Cheese sahabatku sambil menepuk-menepuk
pundaku memberi dukungan.
Dan aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Begitulah sahabat ku itu, ia
tahu semua masalah-masalah yang aku hadapi selama ini karena aku memberitahukan
semua perasahan-perasahaanku. Cheese adalah orang yang sangat penting bagiku bahkan
kelewat penting. Ia sangat mengerti tentang perasaan ku melebihi kedua orang tuaku
khususnya ibu.
Selama pelajaran berlangsung aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang
dijelaskan oleh guru terlebih pelajaran sekarang adalah matematika yang memang pada
dasarnya sungguh membuat ku gila. Pikiranku malah ada ditempat dan dalam memori
yang membuat ku lebih terpuruk lagi. Terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan
kedua orangtuaku. “ Pear, kami harus melakukan ini, maaf membuatmu terluka” ujar
ayah sedikit memohon. “Iya.. Pear kamu harus mengerti dengan keadaan ini, ibu mohon”.
Tidak..tidak..teriakku sebagai jawaban atas apa yang mereka katakan malam itu.
Huuhhh....ku hembuskan nafasku dengan kasar mengingat itu. “Pear kamu harus
kuat, tidak ada yang harus ditangisi” lirihku menguatkan diri sendiri. Cheese yang ada
disebelahku hanya bisa menatap nanar kearahku. Yah... dia cukup tahu permasalahan
yang aku hadapi.
Kini aku berdiri didepan pintu rumahku, hanya menatap pintu itu dengan penuh
keraguan. Apa aku harus langsung pulang setelah jam sekolah usai. Aku pun dengan ragu
memutar kenop pintu dan segera masuk ke dalam rumah. Deg...suara teriakan itu
terdengar lagi, bukan!! selalu terdengar lebih tepatnya. Kata-kata makian apa pantas
dikeluarkan dari mulut seorang guru dan apa pantas seorang dokter, seorang yang
terpelajar tidak dapat menahan egonya untuk sekedar menjernihkan keadaan. Dulu aku
cukup bangga menjadi seorang anak yang memiliki ibu seorang guru dan ayah seorang
dokter, tapi kini keadaan telah berubah. Banyak hal yang membuatku sedih,kecewa dan
bahkan membuat stres. Ingin aku lari dari kenyataan hidup ini tapi apa daya aku hanya
seorang gadis 16 tahun yang lemah.
Segera ku langkahkan kaki menuju kamarku tapi aku berhenti didepan sebuah
kamar yang berada tepat disebelah kamarku. Disana,dipintu kamar itu tergantung manis
papan nama bertulis “ bedroom Red, jangan masuk tanpa seizinku” lengkap dengan foto
pose lucunya. Melihat hal itu aku tersenyum. “kakak aku merindukan mu”lirihku. “Jika
kakak disini maka ibu dan ayah tidak akan melakukan ini.”
Sekarang aku duduk dengan tenang di ruang keluarga rumah ini hanya bisa
menunduk lesu sekarang aku yakin kedua orangtuaku sedang menatapku endah tatapan
apa itu, kasiankah, sediahkan atau kecewa.
“Pear, keputusan ayah dan ibu sudah bulat, jadi..”
“Iya Pear, jika kamu tetap tidak menyetujuinya maka itu sia-sia karena tidak ada
lagi yang dapat dipertahankan dari semua ini” sambung ayah.
Mendengar hal itu hatiku makin sakit, benar mungkin tidak ada harapan lagi.
“Baik aku menyetujuinya, maka cepatlah bercerai” lirihku pelan dengan isakan tangis
berat.
“Bukankah kalian memang selalu tidak peduli padaku, yang kalian pedulikan
selalu kakak Red. Tapi apa bisa kalian memikirlkan ku sekali saja tanpa adanya kakak,
kakak sudah meninggal 1 tahun yang lalu itu waktu yang lama untuk kalian bisa
melupakannya dan memikirkan anak kalian yang satu ini, anak yang masih hidup.
Sepertinya harapan itu akan selalu sia-sia” jelasku panjang lebar dengan air mata yang
terus mengalir.
“Pear, ibu...”
“ Bercerai lah secepat mungkin itu dapat menghidupkan kembali kak Red lagi”
teriakku sambil berlari menuju kamar. Aku sekarang yakin ayah dan ibu kaget dengan
apa yang aku katakan tadi dan juga karena teriakan ku, ya itu adalah teriakan pertamaku
kepada mereka berdua sejak aku dilahirkan.itu karena aku sudah tak tahan lagi, mengapa
mereka tidak bisa merelakan kepergian kak Red, apa kak Red harus selalu menjadi anak
kesayangan mereka.
Sejak kecil memang kak Red yang selalu menjadi prioritas pertama mereka.
Mereka selalu memberi perhatian lebih padanya sedangkan aku mungkin hanya sekedar
pengisi anak bungsu. Orang-orang selalu berpikir anak bungsu itu sangat diistimewakan
dan selalu dimanja tapi kenyataannya selalu jauh dari semua itu. Aku merasakannya
sendiri selama hidupku, aku selalu dibanding-bandingkan dengan kakak ku, mereka
selalu berkata kakak adalah orang yang baik,rajin, dan tidak ada yang salah dari nya,
sedangkan aku selalu menjadi yang terburuk, termalas dan perbuatanku selalu salah dimata mereka. Meski kini kakak sudah tiada mereka masih saja selalu
mengunggulkannya.
Aku teringat saat itu, mereka lebih membelanya sedangkan aku selalu disalahakan.
Pear, kamu ini kenapa sih selalu saja mencari gara-gara” bentak ibu waktu itu.
“ Tidak bu, kak Red yang duluan”
“Pear, kamu itu yang salah jadi cepat minta maaf sama kakak mu”
“Ayah.. kakak yang salah”
“Enak aja, bukan Red yah, bu. Pear tuh yang salah. Dia mencuri uang Red”
“Aku tidak pernah mencuri uang itu karena memang uang itu uang Pear sendiri .
Pear menyisihkan uang jajan untuk mengumpulkan uang itu” bantahku atas tuduhan
kakak ku sendiri.
“Pear jangan banyak alasan cepat kembalikan uang itu” suruh ibu marah.
“ Iya Pear, kenapa sih kamu itu selalu saja menjadi anak pembuat masalah
“ Tapi....” dengan sangat terpaksa aku memberikan uang itu kepada kakak
padahal uang itu akan aku gunakan untuk membeli kamera. Ya.. aku memiliki yaitu
fotografi. Memotret hal-hal yang indah tapi semua itu harus diurungkan lagi karena uang
yang susah payah aku tabung sekarang ludes dalam waktu singkat. Aku hanya bisa
pasrah, malas membantah lebih jauh lagi karena percuma saja jika aku makin melawan
maka makin gencarlah mereka memarahiku.
Begitu lah waktu itu dan bukan hanya itu masih banyak hal lain yang cukup
membuatku sakit hati. Tapi aku bisa apa aku hanya bisa bersabar dan bersabar. Dan aku
selalu bertanya apa dimata kedua orang tuaku benar-benar tidak ada hal yang baik
tentang aku.
Keluarga ini begitu harmonis awalnya mungkin bagi ayah,ibu dan kakak saja tapi
melihat mereka bahagia aku juga turut bahagia. Sebelum musibah yang menimpa kakak
ku. Sebuah kecelakana mobil merenggut nyawa kakak dalam sekejap.
Sore itu kak Red meminta izin untuk menggunakan mobil. Ia mau mengerjakan
tugas kelompok yang diberikan dosennya. Ayah dan ibu sempat tidak mengijinkan kakak
menggunakan mobil karena memang kakak baru mendpatkan SIM kurang dari sebulan
ini tapi setelah bujuk rayu yang dilakukan kakak mereka akhirnya mengijinkan.
Hingga malam tiba kira-kira sekitar pukul sembilan malam kami mendapat telepon
dari seorang entah dari siapa tapi aku bisa menebaknya mungkin dari seorang polisi yang
mengatakan bahwa kakak mengalami kecelakan dan sekarang dia dilarikan ke rumah
sakit. Tentu saja kabar itu mengejutkan kami sekeluarga dan kami langsung pergi kerumah sakit yang dimaksud. Sungguh takdir berkata lain kakak meninggal saat
perjalanan ke rumah sakit.
Sejak saat itulah ayah dan ibu selalu menyalahkan satu sama lain. Mengatakan
coba saja mereka tidak mengijinkan kakak menggunakan mobil kecelakan itu tidak akan
pernah terjadi. Hari demi hari berlalu dan selalu saja pertengkaran demi pertengkaran
yang aku dengar. Masalah-masalah kecil dibesar-besarkan dan mereka berdua tidak
pernah ingin menghilangkan keegoisan mereka barang sekejap untuk merenungkan siapa
yang salah dalam hal ini atau mungkinkah ini memang takdir, jalan hidup kakak untuk
tenang disurga sana. Ayah,ibu sama sekali tidak menyadari setiap pertengkaran yang
mereka lakukan pasti menyakiti hati kakak. Ia tidak akan meninggal dengan tenang
karena masih ada hutang yang harus ia selesaikan di dunia ini yaitu mendamaikan dua
orang yang ia cintai itu.
Pertengkaran itu memuncak saat tiba-tiba saja ayah dan ibu mengatakan padaku
bahwa rumah tangga ini tidak dapat di pertahankan lagi dalam kata lain mereka akan
“BERCERAI”. Aku hanya dapat menangis tidak tahu berbuat apa. Siapa yang bersama
ku nanti, Ayah!, Ibu! Entahlah yang jelas sekarang hati ku kacau ah.. sepertinya bukan
sekedar kacau tapi hancur. Yang jelas aku sudah mencurahkan isi hatiku tinggal sekarang
mereka sendiri yang menentukan apakah tetap bercerai atau tidak.
Tiga bulan kemudian
Kini semuanya hilang, hilang terbawa ombak yang ada didepanku ini sungguh hal
itu membuatku hidup lagi. Tidak ada lagi pertengkaran yang selalu terdengar yang
membuat hatiku damai seperti deru lembut ombak laut yang terlihat biru dengan hari
yang cerah ini. Hari yang begitu cerah seperti hatiku.
“Pear, jangan jauh-jauh nanti tenggelam”
“Iya, hati-hati nanti ombaknya membawa mu ketengah”
“Tenang saja yah,bu aku adalah perenang yang hebat”
Mendengar apa yang aku katakan itu ayah dan ibu hanya bisa tertawa kecil karena
anak mereka kini sering menyombongkan diri. Yup! Kini kami sedang berlibur dan
sekarang kami berada di pantai indah seindah kehamonisan keluargaku. Terlihat disana
ayah dan ibu bercengkraman dengan sangat bahagia diatas pasir putih yang luas seakan
hanya mereka berdua disana. Aku yang memainkan ombak laut ini hanya bisa tersenyum
dengan pemandangan itu.
Ayah dan ibu memang tidak jadi bercerai. Mereka menyadari kesalahan mereka
dan bukannya bermaksud untuk mengabaikan ku hanya saja mereka terlalu terluka akan
jalannya hidup ini. juga bukannya mereka tidak menyayangiku seperti dugaanku setiap
waktu hanya saja mereka telah terbiasa memberi perhatian lebih pada kakak karena
memang kak Red dari kecil sering sakit-sakitan seperti tifus,malaria dan amandel sudah
menghinggapinya dari kecil sedangkan aku selalu saja sehat. Dulu aku tidak menyadari
itu malah aku mementingkan keegoisan ku sendiri dengan meminta perhatian lebih
padahal kakak lah yang perlu perhatian lebih. Tapi anehnya dengan perhatian besar itu
kakak selalu tak nyaman dan merasa terlalu di intimidasi sedangkan aku memimpikan
itu.
Aku ingat saat ayah dan ibu meminta maaf padaku. Meminta maaf atas keegoisan
mereka dan untuk mempersatukan keluarga kecil ini lagi.
“Pear, maaf kan ibu ya nak”
“Ayah juga minta maaf, karena kesedihan kami dengan hilangnya kakakmu Red
membuat kami mengabaikan fakta bahwa kami tidak kehilangan segalanya melainkan
masih ada maleikat seperti mu yang diberikan Tuhan pada kami”
Mendengar itu aku hanya bisa menangis tidak menyangka dengan apa yang
mereka katakan. Tuhan maafkan karena aku pernah merasa tidak mempunyai orang tua
yang cukup baik untuk ku dan aku yakin dengan mengambil kak Red dari sisi kami
Engkau telah memiliki rencana yang indah bagi keluarga ku. Sekarang aku bisa
mengangkat wajah dan berkata mereka adalah orang tuaku, orang tua terbaik yang pernah
ada didunia yang ini tentu saja hanya untuk ku, hanya untuk Pear Nabiru.
Komentar
Posting Komentar