Cerpen "Endapan Rasa" Karya Agnes

 

Endapan Rasa

  Agnes Levina Ardyanti/02/XI MIPA 1    


“Lihat deh, si anak baru itu. Ya ampun, badannya, kelihatan banget gak bisa jaga makan” “Jangankan jaga makan, belajar makeup aja kayaknya gak bisa” “Iya, liat wajahnya, kulitnya putih tapi bekas jerawatnya kentara banget, ih” “Kok masih ada aja sih cewek yang gak bisa jaga penampilan kayak gitu?”

            Mendengar bisikan-bisikan itu, Alana hanya bisa berusaha sabar dan mencoba untuk tidak membalas perkataan keji “rekan kerja”nya. Padahal Alana berharap bahwa ia dapat bekerja dengan orang-orang yang dewasa dan berpikiran cukup terbuka sehingga tidak memandang fisiknya.

            Alana hanya ingin dihargai sebagai manusia. Apakah susah untuk menghargai orang terlepas dari penampilannya? Tidak bisakah orang-orang memandang kelebihannya dibandingkan kekurangan? Mengapa tampaknya semua orang terbutakan oleh penampilan?

            Pertanyaan-pertanyaan dalam benak Alana sudah menggunung dan ia takut untuk benar-benar mengatakannya. Karena Alana khawatir bahwa tidak akan ada yang mengerti kegundahannya. Ia takut ditertawakan dan malah semakin direndahkan jika ia mempertanyakan hal-hal itu.

            Hingga suatu ketika, senior yang dulu membimbing Alana merasa iri karena melihat Alana lebih dipercayai oleh Kamala, sang Chief Editor, ketimbang dirinya yang sudah lebih lama bekerja di perusahaan itu. Senior itu sengaja merusak laptop Alana yang berisi dokumen penting dengan diam-diam mengirim virus ke laptop Alana. Menyadari laptopnya terkena virus, Alana memohon maaf pada Kamala karena tidak dapat menyelesaikan tugasnya tepat waktu.

            Kamala yang saat itu sedang tidak baik hati, tersulut emosi dan mulai memarahi Alana, membuat Alana merasa sangat bersalah tidak dapat menjaga media kerjanya dengan baik. Padahal bukan keinginannya juga laptopnya terkena virus. Tidak mampu membela diri, Alana kemudian keluar dari ruang kerja Kamala selesai memberi sedikit wejangan.

            Duduk di kubikelnya, Alana dihampiri oleh si senior yang sengaja merusak laptopnya tadi. “Emang enak dimarahin sama Bu Chief, hmm? Asal kamu tahu aja, kamu pantas mendapatkan virus di laptop itu”

            “Aku salah apa padamu sampai kamu berlaku seperti ini? Kenapa kamu selalu memperlakukan seperti aku ini tidak punya harga diri?”, tanya Alana pada senior itu, berusaha untuk menahan isak tangis yang ingin keluar sejak tadi.

            “Salahmu sudah jelek, sok pandai, gendut, hidup lagi! Aku iri padamu karena kamu lebih dipercaya oleh Bu Kamala daripada aku yang jelas-jelas lebih lama bekerja di sini. Orang jelek, gendut, gak pantes untuk dihargai. Mereka aja gak bisa menghargai diri sendiri, gak becus merawat diri, kok minta dihargai?”, jawab senior itu dengan tatapan meremehkan.

            Dengan isak tangis, Alana keluar dari kantor itu dan bergegas pulang ke rumahnya. Ia ingin cepat-cepat menangis dalam diam di kamarnya. Ia sudah tidak kuat menampung perlakuan buruk yang ia dapatkan selama hidupnya. Ia merasa lelah dengan dunia yang terasa kejam dan tidak ramah untuk menerima kehadirannya.

            Kala itu, kebetulan orang tua Alana sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang menghadiri acara reuni. Keadaan rumah yang sepi membuat Alana puas menangis dan mencurahkan kepediham di hatinya tanpa harus berpura-pura bahagia seperti ketika orang tuanya berada di rumah.

            Sendiri di kamar, di bawah redupnya lampu tidur, dengan dinginnya angin senja kala itu, terbersit di pikiran Alana untuk mengakhiri hidupnya saat itu juga. Dengan cepat ia mencari benda tajam, yang setidaknya mampu menyakiti dirinya supaya ia tidak harus berlama-lama merasakan sakit di hatinya. Ia menganggap bahwa perih yang akan ia rasakan di kulitnya tidak akan mengalahkan perih yang mendalam di hatinya.

            Dalam sunyi, ia mengenggam sebuah cutter yang ia temukan, dengan gemetar ia mengarahkan benda itu pada pergelangan tangannya. Dengan perlahan Alana mulai menyayat kulit pergelangannya hingga silet pada cutter itu berhasil menembus kulitnya. Semakin dalam silet itu menembus, semakin deras tetesan darah yang keluar dari pergelangan tangannya. Dengan pandangan yang mulai mengabur akibat genangan air mata, Alana merasa pusing dan lemas. Seketika pandangannya gelap dan ia tak sadarkan diri.

            Selang beberapa menit setelah Alana jatuh pingsan, orang tuanya pun telah kembali dari acara reuni. Saat Mama berusaha untuk membuka kunci pintu mengira putrinya belum pulang dari kerja, Mama terkejut bahwa pintu sudah tidak terkunci lagi. Mama menoleh pada suaminya dengan tatapan bertanya. Papa yang mengerti maksud tatapan istrinya pun menjawab, “Sepertinya Alana pulang lebih cepat, Ma, tadi Papa lihat sepatunya sudah ada di rak”

            Sebagai seorang ibu, tentu saja Mama mempunyai naluri yang kuat terhadap apa yang kiranya terjadi pada buah hatinya. Mama sudah merasa tidak enak hati ketika tahu bahwa putrinya pulang lebih cepat dari biasanya tanpa mengabari Mama atau Papanya.

            Tiba di dalam rumah, Mama langsung bergegas menuju kamar Alana sambil berharap bahwa prasangka buruknya tidak benar-benar terjadi. Papa yang merasa bingung dengan gelagat Mama pun langsung bertanya pada istrinya sambil menyusul ke kamar putrinya.

            “Ma! Ada apa? Jangan tergesa-gesa seperti itu! Papa takut!”. Setibanya di depan kamar Alana, dengan hati-hati Mama membuka pintu kamar, takut membangunkan Alana yang mungkin saja sedang tidur. Pintu kamar terbuka dan memperlihatkan seisi kamar yang redup dan tidak ada siapa-siapa di kasur.

            Mama dan Papa cepat-cepat memasuki kamar Alana dan mendapati Alana sedang terbaring lemah di lantai dengan bercak tetesan darah di mana-mana. Mama berteriak kaget mendapati putrinya dengan keadaan seperti itu. Mama mulai menangis sambil berusaha membangunkan Alana dari pingsannya. Papa segera memanggil ambulans dari rumah sakit terdekat untuk membawa Alana pada pertolongan pertama.

            Suara sirine ambulans terdengar nyaring di depan ruang UGD rumah sakit. Pihak medis bergegas menyambut Alana dan memindahkannya ke brankar. Sejumlah perawat berusaha untuk menangani luka di pergelangannya hasil sayatan silet tadi. Beberapa perawat yang lain juga berusaha untuk menenangkan Papa dan Mama Alana, menuntun mereka ke ruang tunggu yang disediakan bagi wali pasien.

            Mengetahui luka yang didapatkan Alana berada pada pergelangan tangannya dan tampak seperti sayatan benda tajam, perawat langsung memanggil dokter UGD yang berspesialis kejiwaan. Dokter itupun memeriksa luka di pergelangan Alana. Perawat yang menangani Alana dengan tegas menjelaskan status keadaannya kepada dokter tersebut. Mulai dari tekanan darah, detak jantung, hingga penyebab Alana berada di ruang UGD tersebut.

            Dari penjelasan sang perawat, dokter itu bergegas mencari orang tua Alana yang sedang menunggu kabar keadaan Alana. Dokter itu memperkenalkan diri, “Selamat malam, saya Dr. Ammar, saya di sini bertugas sebagai dokter spesialis jiwa. Saya akan menangani putri Bapak dan Ibu selama berada di rumah sakit ini.”

            “Ada apa dengan putri saya, Dok? Apakah mentalnya terganggu? Selama ini dia tidak pernah berbagi cerita pada kami. Setahu kami, dia anak yang ceria dan jarang mengeluh. Maka itu kami tidak pernah curiga tentang apa yang salah padanya”, tanya sekaligus jelas Mama pada dokter itu. Tidak dapat memberi jawaban yang pasti, dokter tersebut hanya bisa meyakinkan orang tua Alana bahwa putri mereka akan baik-baik saja jika ditangani dengan tepat dan cepat.

            Beberapa saat kemudian, Alana yang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap terbangun dari pingsannya. Ia bingung mendapati bahwa dirinya sudah tidak lagi berada di kamar tidurnya. Ia menoleh mencari orang tuanya, namun yang ia temukan adalah seorang laki-laki berseragam perawat sedang merapikan alat kesehatan.

            “Eh, sudah bangun. Bagaimana keadaanmu, Alana? Apakah pusing? Apa jahitannya terasa sakit?” tanya perawat itu dengan bertubi-tubi. Alana yang baru saja terbangun hanya dapat menggelengkan kepalanya menandakan bahwa ia tidak merasakan pusing maupun sakit.

            Mendapat gelengan, perawat itu kembali berkata, “Oke kalau begitu, apa kamu haus? Ingin minum?” Alana menganggukan kepalanya dan dengan perlahan mendudukkan dirinya. Setelah menghilangkan dahaga, Alana bertanya pada perawat itu di mana orang tuanya. “Orang tuamu masih mengambil baju di rumah, kamu harus opname untuk beberapa malam di sini.”

            Mendengar bahwa ia harus diopname membuat raut wajahnya berubah khawatir. Alana khawatir jika perbuatannya membuat orang tuanya terbebani. Ia tidak bermaksud untuk dilarikan ke rumah sakit dan diopname. Si Perawat yang melihat perubahan air muka Alana langsung berkata, “Tenang saja, ada saya, saya akan menjaga dan mengawasi kamu selama orang tuamu pulang, ya?”. Lagi-lagi Alana hanya mengangguk lemah.

            Merasa diperhatikan, Alana berkata pada perawat itu, “Terima kasih,…” ucap Alana menggantung. “Darius, nama saya Darius, panggil aja Mas Ari. Salam kenal, Alana”. Balas Ari sambil tersenyum tulus pada Alana.

            “Apakah jahitannya terasa sakit?”, tanya Ari secara tiba-tiba pada Alana yang menatap kosong dan terdiam. “Perih”, jawab Alana dengan lirih. “Kamu lapar? Mau makan?”, tanya Ari lagi. Ari tidak sanggup terjebak dalam keheningan semacam ini. Pertanyaan itu mengingatkan Alana bahwa ia belum makan apa-apa sejak tadi siang. “Iya, Mas, saya lapar”, “Oke! Mau saya suapi? Tanganmu kan masih perih katamu tadi”. Tidak ingin merepotkan sang perawat yang banyak tanya dan banyak senyum ini, Alana menolak tawaran Ari untuk disuapi. “Tidak, Mas, saya masih bisa makan sendiri”, “Okey… Kalau pergelanganmu perih lagi, jangan sungkan kasih tau aku, ya?”. Tidak ingin mengobrol lebih jauh, Alana hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman samar.

            Keheningan yang sangat lantang membuat Ari tidak tahan untuk memecahnya dengan berbasa-basi mengajak Alana mengobrol seputar topik yang ringan. Hingga tanpa tertahan, Ari bertanya mengapa Alana menyayat pergelangannya.

            “Bukankah harusnya Mas Ari sudah paham kenapa saya melakukan self-harm? Saya berusaha mengakhiri hidup saya yang pahit ini. Dunia terlalu kejam bagi saya yang selalu dipandang sebelah mata karena penampilan saya.”

            Mendapat jawaban itu, Ari dengan perlahan berusaha memberi kenyamanan dan kepercayaan bagi Alana. “Iya sih, saya tahu kenapa kamu self-harming. Coba kamu ubah pola pikirmu menjadi pikiran yang positif. Lihat juga sisi terang dari setiap pengalamanmu itu. Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat. Bertahanlah demi orang tuamu, dan ketahuilah, masih ada orang-orang yang peduli padamu.”

            Mendengar pernyataan itu, membuat Alana terenyuh dan menitikkan air mata. “Tapi apa yang dikatakan lebih mudah daripada dilakukan”, ucap Alana sambil menahan isak tangis. “Cobalah dulu, sambil berdoa, Tuhan akan memberi kamu kekuatan kalau kamu memang mau mencoba. Dunia yang bagimu kejam ini tidak akan sesukar itu jika kamu tidak terpaku pada sisi gelapnya”, balas Ari sambil tersenyum dan mengusap punggung tangan Alana, berharap bahwa ia dapat menenangkan gadis itu. Alana hanya mengangguk menanggapi kata-kata Ari

            Tak lama, orang tua Alana pun datang sambil membawa tas berisi pakaian dan keperluan lain. Alana langsung memeluk sang Mama sambil menangis dan meminta maaf. Sebab selama ini ia sudah berbohong tentang keadaannya, dan ia tidak bermaksud untuk merepotkan kedua orang tuanya sampai diopname seperti ini. Ia hanya tidak sanggup menyembunyikan perasaannya hingga ia lupa bahwa masih ada segelintir manusia yang sebenarnya peduli padanya dan seharusnya ia bersyukur atas hal itu, menjadikan mereka sebagai alasan untuk bertahan hidup.

Komentar