Cerpen "Berbeda" karya Zadha

 

Zadha Nayyann Laurent Nisha Eprilliani-35-XI MIPA 1

 

Berbeda

 

“Selamat ulang tahun, banyak doa yang dilangitkan, aku mencintaimu”

 

“Meskipun suaramu samar, aku bisa mendengarmu dengan jelas, terima kasih dan maaf aku masih belum bisa mencintaimu”

 

“Mau kuenya dong hihi”

 

“Eh sini wkw”

 

Mimpi buruk itu muncul kembali, dimana aku harus benar-benar menerima kenyataan bahwa aku yang dulu tidak pernah mencintaimu bisa jatuh sejatuh-jatuhnya dalam perasaan ini. Lalu bagaimana, kamu sudah pergi lenyap dari pandanganku.

 

Aku menerawang langit-langit kamarku, menatap sendu yang tanpa sadar air mata mulai mengiringi lamunanku. Aku tahu, andai sedari awal aku tidak pernah membayangkan kamu pergi, semua tidak akan mungkin terjadi. Aku menyesal, mungkin kata maaf pun tidak dapat merubah semua yang sudah terjadi. Aku harus ikhlas, sesuatu yang sudah pergi belum tentu akan kembali.

 

***

 

Saat ini aku sedang berada di halaman rumahku, aku berniat menunggu arunika menampakkan binar adiwarna. Ufuk timur menjadi jingga yang hidup gembira menyapa dunia. Dingin, udara kali ini begitu dingin tidak seperti biasanya. Sama seperti sikapnya padaku, dingin dan kaku seolah aku fana.

 

“Re cepat mandi kamu sekolah udah offline mau mandi jam berapa”, teriak Mamaku.

 

“Iya Mah bentar”, balasku sambil berjalan masuk rumah.

 

Aku Relisha, ku langkahkan kakiku untuk segera mandi dan bersiap-siap, dan segera bergegas ke sekolah. Sesampainya dikelas ku buka hp ku menscroll chat WhatsApp yang masuk, dan tak berniat membalas satupun pesan itu. Tak lama guruku datang dan aku menghela nafas pelan, entah perasaanku berkecamuk aku sangat pusing. Aku melamun, tidak ada satupun kata yang masuk di otakku saat guruku menjelaskan.

 

“Ting” suara notif membuyarkan lamunanku, ku lirik hp ku dan ternyata dari sahabatku.

 

“Pagi Re”, sapanya.

 

“Pagi juga”, balasku.

 

“Gimana semalam masih mimpi lagi?”, tanyanya.

 

Aku menghela nafas pelan tak berniat membalas, tanpa sadar jariku mengetikkan sesuatu yang bahkan sebenarnya aku tak mau.

 

“Ya, aku rindu dia”, balasku.

 

Aku terkejut, kenapa bisa aku mengetikkan itu. Argh kenapa aku tidak fokus sih.

 

“Sudah kuduga”, balasnya.

 

“Ya gimana ya Sa”, balasku.

 

Ini sahabatku Latisa, panggil saja Tisa, dia orang yang paling tahu tentang aku diantara temanku yang lain.

 

“Sudah sekolah dulu, nanti sore kita lanjut chat lagi”, balas Tisa.

 

Aku hanya membacanya tanpa berniat membalas, entah moodku tiba-tiba hilang dan aku sangat malas melakukan apapun. Bahkan penjelasan guru seolah dongeng yang diceritakan. Tanpa sengaja aku terlelap dan bermimpi.

 

“Udah ya aku pamit, bahagia selalu jangan rindu. Aku ada, kita tetap pada langit yang sama hanya perasaan yang berbeda. Aku akan tetap mencintaimu tanpa tapi. Aku tidak mau kehilanganmu, tapi aku rela melepasmu, berbahagialah tanpaku. Sudah cukup sampai disini, aku lelah jika harus berjalan sendirian. Kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk menjalani ini berdua dan aku tidak ingin memaksa, sudah ya aku pamit terimakasih atas segala bahagia dan luka yang pernah ada. Kita memang fana, tidak abadi, tapi jika Tuhan mengizinkan seumur hidup jadi milik kita, maka aku tidak akan meminta apapun lagi. Yang selalu mencintai kamu, dalam nama apapun, tanpa tapi dan tanpa terkecuali”, ucapnya padaku dengan penuh air mata.

 

Aku menangis, ya hanya bisa menangis mendengarnya sampai terbawa ke alam nyata, ternyata sebegitu menyakitkannya menjadi ia yang selalu penuh luka.

 

Flashback

 

“Aku Natara akan selalu ada untuk kamu dimanapun kamu berada”

 

Malam itu aku sedang berbincang dengan kakakku, ia mengajakku pergi ke mall besok siang, dan ya aku menyetujuinya, sudah lama rasanya tidak pergi ke mall karena pandemi. Setelah dari mall ia mengajakku membeli camilan, aku hanya menurutinya saja. Aku merasa tidak enak, seperti ada yang memperhatikanku dengan intens, ku pandangi sekitar dan tepat didepan mataku aku melihat tatapan itu. Tatapan yang sering aku lihat dan aku sebut candu, tatapan yang tak pernah lepas mengawasi gerak gerikku.

 

“Ayo pulang”, ajak Kakakku.

 

Entah mengapa tatapan itu benar-benar terngiang di benakku. Suasana pun berbeda, seperti rindu tapi aku membencinya. Aku menyukai segala hal tentang kepeduliannya terhadapku, tapi aku membenci sikapnya yang seenaknya.

 

“Re, tadi Natara kan? Kok dia sama cewek sih temennya ya?”, tanya Kakakku.

 

“Gak tau”, jawabku singkat.

 

“Kok gak tau, apalagi kalian gak saling sapa, tapi tadi mereka berdua kayaknya ngomongin kamu makanya aku ajak kamu nunggu di luar aja selagi antre”, jelas Kakakku.

 

“Aku pusing Kak, dia tidak bisa aku pusatkan. Terkadang seolah aku ada tapi kadang gak ada bagi dia, itu yang buat aku sedikit ahh susah dijelaskan”, jawabku.

 

“Re, namanya manusia yang sama-sama jatuh cinta itu sulit. Apalagi kalian beda agama kan? Aku tahu kamu selalu mikir bagaimana kedepannya jika kalian menyatu, tapi mau bagaimana? Takdir Re”, jelas Kakakku.

 

“Takdir bisa dirubah Kak, aku tidak mau jika tanpa restu”, jawabku.

 

Tanpa sadar air mataku mengalir, perasaanku tidak karuan. Aku mencintainya tapi kita berbeda.

 

🎶Tuhan memang satu, kita yang tak sama🎶

 

Aku menatap Kakakku penuh kesal, bisa-bisanya disaat aku menangis ia malah menyanyikan sebuah lagu yang memang cocok dengan keadaan ini.

 

***

 

Tak terasa pandemi sudah cepat berlalu sudah waktunya kembali masuk sekolah. Ini kali pertama aku benar-benar merasakan menjadi siswa SMA setelah kelas 10 ku harus menatap laptop dan berdiam diri dirumah.

 

Ku langkahkan kakiku penuh semangat, tak lama temanku mengapit lenganku untuk berjalan bersama. Tepat didepan kamar mandi ku lihat tatapan itu, ia sedang berbincang dengan seseorang.

 

“Itu kan dia, kelasnya di pojok”, ucap seseorang itu.

 

Orang yang diajak berbicara itu hanya diam memandangiku berjalan melewatinya tanpa melirik ataupun menoleh padanya. Ya, dia Natara orang yang paling aku hindari saat itu.

 

Ku ambil hpku, ku ketikkan sesuatu pada layar yang menunjukkan chat WhatsApp dengan seseorang ‘Latisa’ sahabatku.

 

“Sa, aku ketemu dia, masa dia ngobrolin aku sama temannya sih, didepanku pula gak tahu malu banget”, ujarku pada Tisa.

 

“Hah gimana, kok bisa terus perasaanmu gimana” balas Tisa.

 

“Baik si nyaman tenang aja”, balasku singkat.

 

Aku mengikuti jam pelajaran sampai akhir tanpa membuka hpku lagi. Waktu menunjukkan hampir pukul 11 dan bel akan segera berbunyi, aku segera bersiap untuk pulang. Aku berjalan berdua dengan temanku Amora, ia mengajakku pergi ke minimarket dahulu. Aku terkesiap, siapa yang menatapku sedalam itu. Mataku sedikit blur aku lupa memakai kacamataku lagi, sedikit tidak ku perhatikan jarakku dengannya sudah mulai dekat, baru ku lihat dengan jelas, dia Tara yang menatapku seperti itu. Ia duduk disamping minimarket dengan badan sedikit menunduk, wajahnya menoleh ke arahku terutama mata yang selalu melihat dengan tatapan yang khas itu. Aku runtuh, sekali lagi aku bilang aku runtuh detik itu juga.

 

“Sa, dia natap aku lama banget, tremor nih aku gak tahu tapi deg-deg an banget rasanya, hampir jatuh pula aku karena salting”, ketik pesanku pada Tisa.

 

“Hah kok, oh jadi kamu mulai suka sama dia, hayo ngaku iya kan”, balas Tisa.

 

“Tidak, mana ada gini, gak akan”, sangkalku.

 

“Halah gak percaya pasti udah suka kan, mending bilang iya deh”, balas Tisa menggodaku.

 

“Ih enggak Sa beneran”, jawabku.

 

Aku melanjutkan langkahku kembali masuk kedalam sekolah, aku mengelilingi sekolah bersama Amora sampai sekolah mulai sepi. Aku berpikir jika Natara pasti sudah pulang karena pulang sekolah sudah satu jam yang lalu, aku segera melangkahkan kakiku menuju gerbang untuk pulang. Tapi ternyata salah, Natara masih berada di samping minimarket dengan tatapan khasnya, menatapku sangat dalam dan tak bisa ku artikan. Aku buru-buru mengabari Latisa.

 

“Sa, kok dia masih disana sih, sambil natap lagi”, ketikku.

 

“Nungguin itu mah, Natara aja loh”, balas Tisa.

 

“Ya tapi gak biasanya dia nungguin selama ini”, balasku.

 

“Ketika orang yang kamu cintai belum pulang kamu pasti akan sama kayak Natara Re”, jawab Tisa.

 

“Gak tuh buktinya kemarin aku pulang duluan gak nungguin dia”, jawabku tak mau kalah.

 

“Gini nih kalau debat sama anak yang gak mau ngalah”, jawab Tisa.

 

“Loh bener emang”, jawabku.

 

“Astaga Re”, balas Tisa.

 

“Iya iya aku mau ngaku”, balasku.

 

“Beneran kan kamu suka sama dia sekarang?”, balas Latisa.

 

“Iya, aku mulai ada perasaan lebih sama dia”, balasku.

 

“Ciye beda agama nih, yang dulu dihindari jadi jatuh sendiri”, balas Latisa.

 

“Udah deh ah, mau pesen Grab dulu”, balasku.

 

“Yah bener-bener Relisha. Yaudah, hati-hati dijalan”, balas Tisa.

 

Aku segera bergegas pulang, sesampainya dirumah langsung buka WhatsApp ku untuk mengetikkan sesuatu pada Latisa. Belum sampai ku buka chat Latisa, ada satu notif yang membuatku tertegun sejenak. Natara, ya nama itu yang muncul dari layar ponselku. Segera ku tutup ponselku dan aku tidak membukanya sampai sore. Aku memutuskan untuk tidur karena pikiranku sangat bertentangan dengan pilihanku yang ingin mundur dari Natara, ini membuatku lelah.

 

Aku bangun jam 5 sore dan segera mandi untuk melihat senja, ku langkahkan kakiku ke halaman rumah menunggu senja tiba. Entah bagaimana dan sejak kapan Natara berada disampingku. Ah aku jadi ingat pesan darinya yang belum sempat ku baca, apa ya isinya aku jadi kepo sekarang.

 

“Nih Re”, ucapnya padaku dengan menyodorkan seikat bunga.

 

“Edelweiss, i like it. Thankyou Natara”, jawabku.

 

“Anggap saja edelweiss sebagai simbol kisah kita, tidak perlu aku jelaskan mengapa, karena aku yakin kamu juga tahu apa filosofi edelweiss ini Re”, balas Natara.

 

Aku menatapnya seraya berkata,

“Mengapa harus lambang keabadian Natara, entah kedepannya seperti apa kita tidak tahu. Aku yang mengalah atau kamu yang mengalah juga tidak bisa di pastikan, tidak ada yang abadi dalam kisah kita Natara”, jawabku.

 

“Re, kita pasti berusaha keras untuk mengikat satu sama lain, perjuangan pasti akan ada hasil entah kebahagiaan atau menyakitkan itu urusan belakang, yang penting kamu tahu bagaimana rasanya di perjuangkan mati-matian oleh seseorang yang bahkan tidak tahu kedepannya seperti apa”, balas Natara.

 

“Dan harus aku jelaskan sekali lagi jika aku tidak ingin kamu pergi”, sambung Natara sambil menatapku.

 

Swastamita mulai merekah, aku menatapnya dengan membendung kuat air mata, entah mengapa Tuhan memberiku cobaan dengan cinta beda agama. Pada dia yang sulit ku gapai dan ku miliki, pada dia yang sama-sama menyukai Arunika dan Swastamita. Aku sangat suka saat memandanginya bersama senja, apalagi potret manisnya itu tidak ada duanya.

 

***

 

Hari ini adalah jadwalku siaran radio, sesuai eskul yang aku pilih yaitu Broadcast Radio. Aku sedikit gugup tapi lebih menonjol semangatku. Siaran pun di mulai aku berbincang dengan pembina eskulku di siaran kali ini, tanpa sengaja beliau bertanya padaku

 

“Oh ya Re gimana pacarmu”, tanya Pak Fahmi.

 

“Baik Pak”, balasku singkat sambil menerawang darimana aku punya pacar sampai menjawabnya begini.

 

“Oh sekolah dimana”, tanya Pak Fahmi lagi.

 

“Eh anu itu di sekolah sebelah SMK sebelah”, balasku tersenyum kecut.

 

Untung saja Pak Fahmi tidak melanjutkan perbincangan itu, hatiku dag dig dug tidak karuan, aku takut Natara mendengar perbincangan ini. Tak lama lagu ‘Lantas' terputar, ku bayangkan itu tentangku dan Natara. Ah sudahlah, aku memang sedari awal yang menginginkan dia pergi kenapa aku harus memikirkan perasaannya seperti ini.

 

“Ciye habis siaran”, sapa Amora padaku.

 

“Ih apasih bagus gak sih aku gugup tadi”, jawabku.

 

“Bagus banget sampek bahas pacar”, balas Amora sambil ketawa.

 

Aku ikut tertawa mendengarnya, lalu pelajaran pun di mulai. Sepulang sekolah aku memutuskan untuk pulang lebih siang, menunggu sekolah sepi dengan duduk di ruang kelas sendirian. Lalu ku langkahkan kakiku meninggalkan ruang kelas dan menuju gerbang.

 

Hari ini cukup melelahkan bagiku, pelajaran matematika wajib dan dilanjutkan kimia adalah hal yang paling mematikan. Arg pusingnya sampai membuatku tidak bisa berdiri saking lemasnya, aku berusaha tetap kuat agar cepat pulang. Aku berjalan bersama temanku Amora, ia mengajakku bercanda ditengah perjalanan kita. Tak lama tatapan itu muncul di tangga tak jauh dari aku berjalan, menatapku lama tapi seolah kita asing, dua raga yang dekat namun terlihat tak saling kenal.

 

“Re, diliatin tuh”, ucap Amora.

 

“Udahlah Ra”, jawabku singkat.

 

“Kenapa? Kalian udahan?”, tanya Amora.

 

“Apanya yang udahan, kita gak pernah memulai suatu hubungan”, jawabku.

 

“Hah setahun ini kalian apa jika tak ada status Re”, pekik Amora.

 

Ku jitak kepala Amora pelan seraya berkata,

“Hm seperti dua orang yang tidak punya tujuan”, balasku.

 

“Pantesan akhir-akhir ini kamu sering ngelamun, pasti belum ikhlas kan”, balas Amora.

 

“Ikhlas apanya, gak ada yang perlu diikhlaskan”, jawabku.

 

“Ya kan melupakan dia butuh keikhlasan Re”, balas Amora.

 

“Hm”, balasku singkat.

 

Aku sangat tidak mood untuk membahas tentang aku dan Natara, entah hubungan tidak jelas ini membuatku lelah. Sudah dua minggu aku mendiamkan Natara, bahkan aku menghindarinya jika bertemu. Ah sudahlah, ini melelahkan aku sungguh tak bisa bertahan.

 

Aku berjalan perlahan dan jarakku dengannya lumayan dekat, ia menatapku dengan tatapan khasnya yang candu. Perlahan menghampiriku dengan sendu.

 

“Bagaimana bisa kamu punya pacar dari sekolah sebelah? Kisah kita belum selesai Re, jangan selingkuh!”, ucapnya.

 

“Apanya yang belum selesai, kita tidak pernah memulai Natara, tidak pernah. Apa kamu memberiku kepastian? Tidak Natara jangan membalikkan fakta, yang aku terima selama ini hanyalah omong kosongmu!”, balasku.

 

“Mana yang omong kosong Re jelasin, aku udah mikirin gimana kita kedepannya, terus sekarang apa?”, balas Natara.

 

“Yaudah, sekarang aku ngomong didepan kamu tentang kita. Gak ada yang bisa aku harapin dari kamu Natara, Tuhan kita beda dan keyakinan kita juga beda. Aku gak mau kedepannya susah Natara, tidak jelas arahnya kemana dan daripada kita sesak di akhir lebih baik kita gak memulai”, jawabku.

 

“Jangan Re, aku gak mau kehilangan kamu harus berapa kali aku ucapkan Relisha, dan kamu juga tadi siaran bilang apa? Pacar ya anak SMKN 6 haha lucu sekali aku disakiti seperti ini”, balas Natara.

 

“Udah cukup”, balasku singkat.

 

“Re, aku sayang sama kamu kurang apa aku”, ucapnya sendu.

 

“Sayang tanpa kepastian gak akan ngerubah apapun Natara, kamu gak pernah peduli perasaanku juga kan?”, balasku.

 

“Perasaan apalagi Re, urusan kita beda agama? Kita udah biacarain ini berkali kali Relisha. Kamu didekati siapapun aku diam, kamu dicintai siapapun aku diam, terus sekarang kamu pacaran sama orang lain aku gak bisa lagi buat diam!”, balas Natara dengan emosi.

 

“Yaudah, ini maumu juga kan kita gak memulai. Oke aku lelah, aku kira aku bertahan aku bisa dapatkan kamu. Ternyata aku salah, kamu bersama orang lain tanpa sepengetahuanku. Sakit sekali mendengarnya apa kamu tahu itu. Mungkin tidak, sudahlah berbahagialah dengan orang pilihanmu. Aku pamit Relisha. Terima kasih, sudah membuatku memiliki takdir yang begitu luar biasa. Bertemu dengan kamu adalah hal terbaik sepanjang masa yang aku punya. Yang mencintai kamu lebih lama daripada selamanya. Sekalipun aku sadar, selamanya tak pernah jadi milik kita. Nggak papa, kalau memang melupakan aku bisa membuat kamu bahagia. Aku ikhlas”, ujar Natara padaku sebelum ia meninggalkanku, bahkan akupun belum mengucap sepatah kata apapun dan ia benar-benar menyerah dan mengaku kalah.

 

Malam harinya ku dapati ia sedang keluar bersama seorang perempuan yang berkedok sebagai teman, entah siapa dia sebenarnya. Regina, ya itu namanya. Dia membuatku cemburu setengah mati karena sering keluar berdua dengan Natara di hari-hari berikutnya, bahkan sampai larut malam dan di posting di sosial media. Ah sudahlah, tak lama akhirnya kudengar ia sudah ada penggantiku juga, dan itu bukan Regina aku tidak ingin mencari tahu dan ya meskipun menyakitkan tapi inilah akhirnya.

 

***

 

Hujan masih setia dengan rintiknya. Malam masih setia dengan dinginnya. Bulan dan bintang masih teronggok pilu dibalik awan yang semakin menghitam. Dan aku masih setia dengan jatuhnya air mata. Buliran-buliran bening itu masih menetes dibawah rinai hujan yang menghujam bumi. Tanpa suara seperti hatinya yang kembali merapuh. Niat hati yang tidak sesempurna kenyataan kembali melengkungkan asa.

 

Butiran embun menyapa di pucuk dedaunan. Merangkum pergantian hari dengan proses kondensasi alam yang sempurna. Menyambut bergulirnya fajar hingga tercipta siluet putih kemerahan di ufuk timur. Pancaran megah mentari pagi menyeruak keluar dari singgasana abadi. Ribuan bahkan jutaan burungpun bersenandung menyambut hadirnya sang raja siang untuk kembali menerangi bumi.

 

Aku masih setia dengan lamunan dan isak tangis hingga dini hari, aku tidak peduli akan se lelah apa aku nanti menjalani hari, yang aku pikirkan hanya dia. Ucapannya dan kata terakhir saat ia pamit padaku.

 

Kita benar-benar seperti orang asing, canggung saat bertemu, buang muka dan segala macam sudah menjadi santapan setiap harinya. Sakit tapi tidak berdarah, namun membekas. Sampai saat ini tetap masih ia yang setia aku harapkan, meski raga tak lagi bisa ku dapatkan.

 

Flashback off

 

“Sa, kenapa akhir-akhir ini aku jarang nemuin dia di sekolah ya, sedikit kangen sih”, ujarku pada Tisa.

 

“Namanya juga sama-sama memilih pisah, pasti juga butuh waktu buat move on dengan cara gak ketemu. Kenapa kangen ya?”, tanya Tisa padaku.

 

“Oh iya juga sih. Nggak, aku hanya ingin tahu saja mengapa dia bisa menjauh begitu cepat, oh ya aku lupa kan dia juga sudah ada penggantiku”, balasku.

 

“Tetap saja yang dia sayang kamu bukan orang itu”, balas Tisa.

 

Entah hari ini moodku benar-benar turun, aku cengeng sekali hari ini, menangis tanpa sebab bahkan merindukan semua tentangnya tiba-tiba. Haha lucu banget aku, aku yang minta aku juga yang tersakiti.

 

Ku ketikkan sesuatu pada layar ponselku, tertulis singkat pesanku pada Tisa.

 

“Dan pada akhirnya sesuatu yang sakit itu harus saya lepaskan

Hari ini sampai 2 minggu ke depan saya gak akan ketemu dia

Mungkin dengan cara ini saya bisa ikhlas jika dia memang benar-benar pergi

Kenyataan membawaku menjalankan semua bayangan saat aku mengharapkan dia untuk benar-benar pergi

Dan ya, semua terkabulkan

Dan hanya saya yang tinggal sendiri bersama luka”

 

Napas mulai memburu. Aku mencengkram dadaku kuat-kuat, tempat segala sakit itu berpusat. Berkali-kali ku pukulkan kepalan tanganku ke sana, seolah dengan begitu sakitnya bisa lenyap. Tapi tidak. Bukannya lenyap, pedih itu justru semakin menyebar. Retakan di hatiku kian lebar, sebelum akhirnya pecah hingga serpihan terkecil.

 

“Mengapa sesakit ini, seperti inikah rasanya ketika ia memperjuangkan aku tapi aku begitu menyakitinya”, isakku kecil.

 

“Tuhan maafkan aku karena menyayanginya, sampaikan padanya jika kau memang tak pernah memberiku restu untuk bersamanya. Natara maaf atas luka”, pintaku.

 

Kisah cinta ini seperti laut dengan langit. Laut mencintai langit, begitupun sebaliknya, mereka selalu bersama, saling menatap satu sama lain. Tetapi tak pernah bersatu. Mengapa? Karena Tuhan menciptakan mereka hanya untuk bersama, bukan untuk bersatu. Saling tatap bukan saling dekap.

 

 

Komentar